Perempuan dan Reformasi

Posted on

Seiring dengan runtuhnya dari rezim otoriter di masa Orde Baru, keberadaan dari organisasi perempuan semakin mendapatkan tempat. Awalnya pemerintah yang seakan memasung aktivitas dari para aktivis ini semakin longgar dan berakibat banyak aktivis perempuan yang muncul untuk memperjuangkan hak dari kaum perempuan.

Ada banyak organisasi perempuan yang bermunculan dalam beragam bentuk, seperti ormas, yayasan, LSM, dan banyak lainnya. Bukan hanya itu saja, ada pula partai politik yang mulai untuk memasukkan unsur perempuan ke dalam organisasinya, ada pula sayap organisasi yang langsung dipimpin oleh perempuan.

Seperti misalnya sebut saja Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Amanat Nasional, dan masih banyak lainnya.

Selain itu ada juga dimuat di dalam amandemen UUD 1945 yang semakin menunjukkan keberpihakan kepada kaum perempuan. Di sana dimuat unsur kesetaraan gender di dalam bentuk hak dan juga kewajiban antar sesama warga negara, termasuk juga hukum serta pemerintahan.

Bahkan ada juga ketika pembentukan draft amandemen UUD 1945, terdapat keikutsertaan organisasi perempuan di bawah koordinasi Komite Perempuan dalam bentuk perdamaian dan demokrasi.

Ini diperkuat juga dengan UU RI Nomor 39 tahun 1999, pasar 46, mengenai Hak Asasi Manusia yang sudah menjamin keterwakilan perempuan, secara legislatif, eksekutif, atau pun yudikatif.

Bukan itu saja, pemerintah juga mengeluarkan Inpres nomor 9 tahun 2000 mengenai Pengarusutamaan Gender di dalam pembangunan Nasional yang akan mengharuskan seluruh kebijakan serta program Pembangunan Nasional yang dirancang melalui perspektif gender.

Sebelumnya pemerintah Orde baru sudah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvensi tenteng penghapusan dari segala bentuk diskriminasi pada Perempuan.

Meski demikian, perjuangan perempuan masih sulit untuk menemukan titik terang karena ada banyak liku yang harus dihara[pi agar dapat mencapai tujuan.

Bahkan perjuangan perempuan pun hingga saat ini untuk mencapai wilayah publik atau lembaga Lesgislatif pun harus melalui pintu partai politik sebagai satu-satunya mesin politik Indonesia.

Padahal sebenarnya tidak semua partai politik berpihak ke perempuan, artinya dunia politik pun masih sangat kental dengan budaya maskulinisme.

Seperti misalnya, rapat partai dilakukan di malam hari dan menjelang subuh. Ini tentunya menjadi kesulitan untuk perempuan yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga anak serta melayani suami.

Hal ini membuat perempuan terhambat untuk ikut berperan di bidang politik. Contoh lainnya, seperti mayoritas perempuan yang tidak mandiri secara ekonomi dan masih bergantung dengan suami secara finansial.

Jadi perempuan harus memiliki izin suami untuk membelanjakan uangnya, apalagi kalau membelanjakannya di bidah politik. Ini tentunya sangat berbeda dengan laki-laki yang mayoritas bertindak untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan posisi sebagai kepala rumah tangga.

Bahkan, saat aktivis perempuan bisa mendesakkan tindakan afirmatif di dalam UU Pemilu yang memuat setidaknya 30% untuk keberadaan calon legislatif perempuan, itu juga tidak mempermudah perempuan untuk bisa mendapatkan posisi sebagai wakil rakyat.

Dengan ini, perjuangan perempuan untuk bisa menegakkan kesetaraan gender masih jauh dari tujuan yang ingin diraih. Peningkatan jumlah anggota dewan perempuan pun masih belum bisa mengatasi ketidaksetaraan gender yang dialami saat ini.
Sebabnya, untuk bisa mewujudkannya, maka diperlukan untuk adanya kerja sama dengan entitas sosial lainnya yang jaga memiliki kepekaan pada persoalan ini.

Perjuangan ini juga akan memerlukan upaya yang sistematis, terprogram, dan berkesinambungan di semua sisinya.

Kiprah Perempuan Dalam Ranah Politik

Posted on

Di Indonesia setidaknya terdapat 133,54 juta jiwa atau 49,42% dari keseluruhan penduduk di Indonesia berdasarkan hasil dari sensus penduduk Indonesia tahun 2020.

Karena adanya konstruksi budaya, perempuan seakan mau tidak mau menempati posisi kedua setelah laki-laki. Pembagian kerja yang membagi kinerja berdasarkan kelaminnya, hal ini membuat banyak perempuan yang menjadi bekerja di sektor domestik dan laki-laki banyak yang bekerja pada wilayah publik.

Biasanya sektor domestik lebih dianggap lebih rendah dibandingkan dengan wilayah publik. Sebabnya banyak aktivis perempuan yang tidak berhenti untuk berjuang meningkatkan kesadaran perempuan.

Bahkan banyak perempuan yang sudah menganggap ini sebagai kodrat yang sudah diberikan.

Tapi tahukah kamu ternyata banyak hal yang sudah kaum perempuan berikan untuk kiprah politik. Berikut ini kami akan menunjukkan kiprah perempuan di dalam ranah politik dari masa ke masa.

Perempuan dan Rezim

Sebenarnya perjuangan dari aktivis perempuan sudah dimulai sebelum Indonesia merdeka, bahkan jauh sebelum itu. Ini ditunjukkan dengan adanya organisasi-organisasi perempuan yang ikut berkontribusi untuk membuat Indonesia merdeka.

Seperti misalnya, Organisasi Pawijatan Wanito yang ada di Magelang yang sudah berdiri sejak tahun 1915 dan juga Perantara Ibu kepada Anak Temurun (PIKAT) yang dibentuk di Manado di tahun 1917. Kedua organisasi ini membuktikan kalau memang sudah sejak masa tersebut mereka memperjuangkan hak atas wanita.

Beberapa organisasi perempuan ini memberikan inspirasi untuk para kaum perempuan yang terus berkembang di masa selanjutnya, pada masa orde lama.

Perkembangan organisasi perempuan pun semakin tampak saat lahirnya Kongres Wanita Indonesia atau Kowani pada tahun 1945. Kowani sendiri adalah hasil ‘reinkarnasi’ dari sebuah organisasi perempuan Perikatan Perkoempoelan Perempuan Indonesia atau PPPI yang berdiri di tahun 1928.

Tetapi sayangnya, Kowani ini mendapatkan persoalan yang cukup serius, di mana ketua atau pimpinan dari Kowani berpihak kepada G30S/PKI. Meski demikian, karena adanya keadaan ini akhirnya terbentuk organisasi perempuan yang baru. Organisasi tersebut adalah Kesatuan Aksi Wanita Indonesia atau Kawi, yang merupakan bentuk dari respons atas peristiwa yang terjadi sebelumnya. Selain Kawi, ada juga organisasi yang muncul lainnya.

Saat masa orde lama, ada juga beberapa nama perempuan yang berkiprah di dalam bidang politik, sebut saja seperti Kartini Kartaradjasa dan Supeni (PNI), Walandauw (Parkindo), Mahmuda Mawardi (Partai Nadhlatul Ulama), sampai Salawati Daud (Partai Komunis Indonesia).

Ini tentunya menjadi bukti kalau di masa tersebut, keberadaan perempuan sudah diperhitungkan pada panggung politik. Tetapi semuanya sirna karena adanya kekuasaan dari rezim orde lama dan berganti ke orde baru.

Masa paling sulit untuk pergerakan perempuan di Indonesia adalah saat masa transisi dari orde lama ke orde baru. Saat itu organisasi perempuan dianggap sebagai salah satu organisasi yang wajib diawasi dengan alasan kepentingan negara.

Namun, di tahun 1980-an akhirnya banyak organisasi perempuan yang akhirnya berjuang untuk keluar dari rumusan orde baru, seperti organisasi Yayasan Annisa Swasti yang ada di Yogyakarta dan juga Yayasan Kalyanamitra yang ada di Jakarta.

Yayasan ini bahkan memiliki jaringan sampai ke Lembaga Swadaya Masyarakat, yaitu LSM Solidaritas Perempuan dan juga LSM Rifka Annisa.

Perjuangan yang harus dilakukan oleh para aktivis perempuan di masa ini tidak mudah, karena mereka juga harus bisa mengubah mindset dari kaum mereka sendiri, perempuan.

Di masa itu perempuan masih memiliki mindset kalau perempuan lebih di bawah laki-laki. Selain itu mereka juga harus bisa berhadapan dengan negara yang rumusan peran perempuannya berbeda dibandingkan dengan apa yang sedang mereka perjuangkan.

Itulah sedikit kisah mengenai perempuan di ranah politik Indonesia.