Mahmudah Mawardi

Posted on

Di tahun 1952 Nahdlatul Ulama atau NU memutuskan untuk berpisah dari Masyumi dan membentuk partai mereka sendiri. Setelah itu keduanya kerap kali terlibat di dalam perselisihan yang tajam. Salah satu akar masalahnya adalah karena NU berusaha untuk menarik  kembali para anggota yang telah memegang jabatan penting di Masyumi.

Selain itu ada pula masalah internal yang cukup rumit, seperti NU yang tidak memiliki program kebijakan yang jelas, Administrasi yang kacau, dan juga keterbatasan dana. Hal ini menyebabkan jumlah dari keanggotaan NU semakin menurun secara drastis dan hanya tersisa 51.000-an anggota pada tahun 1952.

Hal ini membuat NU mau tidak mau bertindak cepat dan mencari cara untuk meningkatkan jumlah anggota. Untuk menghadapi pemilu yang dilakukan pada tahun 1955, mereka pun mendirikan Lajnah Pemilihan Umum Nahdlatul Ulama atau Lapunu.

Tugas dari Lapunu adalah untuk menyusun kriteria calon legislatif dan juga juru kampanye. Dengan langkah ini, diharapkan NU bisa mendapatkan lebih banyak umat muslim agar mau mencoblos NU.

Awalnya, NU memiliki kriteria pemilihan calon yang tidak memihak kepada perempuan dan hal ini menuai banyak kecaman dari para Muslimat NU.

Ada salah seorang dari NU yang mengatakan kalau NU akan merugi jika mereka tidak mengizinkan perempuan untuk ikut berpartisipasi di dalam politik.

Pada awalnya, para Kiai tetap menolak untuk menyetujui hal ini dikarenakan ketidakpastian mengenai seorang perempuan Muslim untuk berkampanye sampai ke pelosok, namun setelah terjadi perdebatan sengit akhirnya NU menyetujuinya.

Salah satu tokoh perempuan yang paling gencar untuk melakukan kampanye untuk NU adalah Nyai Mahmudah Mawardi. Ia merupakan salah satu tokoh yang memiliki kepiawaian dalam melakukan organisasi perempuan ke arah yang progresif.

Mahmudah pun terpilih untuk menjadi ketua umum dari Muslimat NU yang didirikan di tahun 29 maret 1946. Wanita yang merupakan putri tokoh perintis NU Solo Kiai Masjhud ini pernah mengemban tugas sebagai Pimpinan Cabang Muslimat NU Solo serta ketua Federasi Wanita Islam Indonesia di Solo.

Selama delapan periode Mahmudah memimpin Muslimat NU. Ia pun terlibat langsung dengan penggalangan suara serta kampanye NU di dalam pemilu 1955 yang Muslimat lakukan. 

Dengan bekal didikan dari pesantren yang kuat, ia pun mendapatkan banyak dukungan dari para perempuan Muslim dengan metode yang populis serta agamais. Di samping itu, Mahmudah juga aktif untuk menyuarakan masalah dari perempuan mengenai perkawinan, hak mereka, dan juga bermasyarakat.

Sambil menyuarakan aspirasi dari perempuan, Mahmudah juga secara konsisten melakukan kampanye dalam memprogram politik NU yang berlandaskan Islam.

Beberapa program kampanye dari para tokoh Muslimah di dalam pemilu 1955 meliputi:

  • Penyuluhan pemilu kepada perempuan
  • Bakti sosial di kampung-kampung
  • Menyalurkan aspirasi perempuan dengan menggunakan media cetak
  • Melakukan kampanye visi dan misi dari partai yang berkaitan dengan perempuan di jalan islam.

Sayangnya, meski dianggap sangat efektif untuk menarik suara dari kalangan rakyar bawah, tidak banyak perempuan yang berhasil untuk lolos ke parlemen. Setidakny dari 257 kursi DPR yang ada, hanya 19 yang diduduki oleh calon perempuan.

Meski demikian, pencapaian yang didapatkan oleh Muslimah di dalam pemilu 1955 tidak begitu mengecewakan. NU Pun berhasil untuk menempatkan lima calon perempuan mereka, menyamai dengan calon perempuan dari PKI.

Itulah sedikit ulasan mengenai salah satu politikus perempuan yang berjasa di Indonesia, Mahmudah Mawardi.

Kiprah Perempuan Dalam Ranah Politik

Posted on

Di Indonesia setidaknya terdapat 133,54 juta jiwa atau 49,42% dari keseluruhan penduduk di Indonesia berdasarkan hasil dari sensus penduduk Indonesia tahun 2020.

Karena adanya konstruksi budaya, perempuan seakan mau tidak mau menempati posisi kedua setelah laki-laki. Pembagian kerja yang membagi kinerja berdasarkan kelaminnya, hal ini membuat banyak perempuan yang menjadi bekerja di sektor domestik dan laki-laki banyak yang bekerja pada wilayah publik.

Biasanya sektor domestik lebih dianggap lebih rendah dibandingkan dengan wilayah publik. Sebabnya banyak aktivis perempuan yang tidak berhenti untuk berjuang meningkatkan kesadaran perempuan.

Bahkan banyak perempuan yang sudah menganggap ini sebagai kodrat yang sudah diberikan.

Tapi tahukah kamu ternyata banyak hal yang sudah kaum perempuan berikan untuk kiprah politik. Berikut ini kami akan menunjukkan kiprah perempuan di dalam ranah politik dari masa ke masa.

Perempuan dan Rezim

Sebenarnya perjuangan dari aktivis perempuan sudah dimulai sebelum Indonesia merdeka, bahkan jauh sebelum itu. Ini ditunjukkan dengan adanya organisasi-organisasi perempuan yang ikut berkontribusi untuk membuat Indonesia merdeka.

Seperti misalnya, Organisasi Pawijatan Wanito yang ada di Magelang yang sudah berdiri sejak tahun 1915 dan juga Perantara Ibu kepada Anak Temurun (PIKAT) yang dibentuk di Manado di tahun 1917. Kedua organisasi ini membuktikan kalau memang sudah sejak masa tersebut mereka memperjuangkan hak atas wanita.

Beberapa organisasi perempuan ini memberikan inspirasi untuk para kaum perempuan yang terus berkembang di masa selanjutnya, pada masa orde lama.

Perkembangan organisasi perempuan pun semakin tampak saat lahirnya Kongres Wanita Indonesia atau Kowani pada tahun 1945. Kowani sendiri adalah hasil ‘reinkarnasi’ dari sebuah organisasi perempuan Perikatan Perkoempoelan Perempuan Indonesia atau PPPI yang berdiri di tahun 1928.

Tetapi sayangnya, Kowani ini mendapatkan persoalan yang cukup serius, di mana ketua atau pimpinan dari Kowani berpihak kepada G30S/PKI. Meski demikian, karena adanya keadaan ini akhirnya terbentuk organisasi perempuan yang baru. Organisasi tersebut adalah Kesatuan Aksi Wanita Indonesia atau Kawi, yang merupakan bentuk dari respons atas peristiwa yang terjadi sebelumnya. Selain Kawi, ada juga organisasi yang muncul lainnya.

Saat masa orde lama, ada juga beberapa nama perempuan yang berkiprah di dalam bidang politik, sebut saja seperti Kartini Kartaradjasa dan Supeni (PNI), Walandauw (Parkindo), Mahmuda Mawardi (Partai Nadhlatul Ulama), sampai Salawati Daud (Partai Komunis Indonesia).

Ini tentunya menjadi bukti kalau di masa tersebut, keberadaan perempuan sudah diperhitungkan pada panggung politik. Tetapi semuanya sirna karena adanya kekuasaan dari rezim orde lama dan berganti ke orde baru.

Masa paling sulit untuk pergerakan perempuan di Indonesia adalah saat masa transisi dari orde lama ke orde baru. Saat itu organisasi perempuan dianggap sebagai salah satu organisasi yang wajib diawasi dengan alasan kepentingan negara.

Namun, di tahun 1980-an akhirnya banyak organisasi perempuan yang akhirnya berjuang untuk keluar dari rumusan orde baru, seperti organisasi Yayasan Annisa Swasti yang ada di Yogyakarta dan juga Yayasan Kalyanamitra yang ada di Jakarta.

Yayasan ini bahkan memiliki jaringan sampai ke Lembaga Swadaya Masyarakat, yaitu LSM Solidaritas Perempuan dan juga LSM Rifka Annisa.

Perjuangan yang harus dilakukan oleh para aktivis perempuan di masa ini tidak mudah, karena mereka juga harus bisa mengubah mindset dari kaum mereka sendiri, perempuan.

Di masa itu perempuan masih memiliki mindset kalau perempuan lebih di bawah laki-laki. Selain itu mereka juga harus bisa berhadapan dengan negara yang rumusan peran perempuannya berbeda dibandingkan dengan apa yang sedang mereka perjuangkan.

Itulah sedikit kisah mengenai perempuan di ranah politik Indonesia.